Jakarta - Bogor
sudah lama dikenal sebagai Kota Hujan. Tak mengenal musim, tetangga
Jakarta di sebelah selatan itu sudah biasa diguyur hujan. Akhir-akhir
ini hujan juga sering mampir di Jakarta, meskipun belum masuk musimnya.
Jakarta pun lebih sering banjir.
Ternyata, karakter Jakarta sebagi kota metropolitan yang sarat gedung pencakar langit dan memiliki arus lalu lintas yang sibuk ikut menyebabkan perubahan cuaca. Ketua Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung, Armi Susandi, mengatakan hujan di Jakarta tak terjadi secara alami akibat karakter topografi seperti di Bogor.
Menurut dia, hujan di Jakarta disebabkan oleh efek "hot island" yang timbul karena kegiatan pembangunan dan aktivitas warga. "Suhu Jakarta bisa lebih panas 4-5 derajat Celcius dibandingkan laut dan kota di sekitarnya," kata Armi ketika dihubungi, Senin, 14 Januari 2013.
Tingginya suhu itu membuat uap air dari laut bergerak ke langit Jakarta. Di samping itu, aktivitas pabrik dan kendaraan membuat langit sarat polutan. Zat-zat ini nantinya akan menyatu dengan uap air yang berasal dari laut dan membentuk awan. Akibatnya, awan lebih cepat menjadi berat dan "matang."
"Akhirnya awan sudah jatuh sebagai hujan sebelum sampai ke kawasan Bogor," kata dia. Padahal seharusnya awan-awan dari laut itu baru matang ketika sudah sampai Bogor. "Topografi Bogor yang tinggi dan berbatasan dengan gunung membuat awan secara alami terjebak dan akhirnya menjadi hujan di daerah Bogor, Ciawi, dan Puncak."
Efek hot island ini membuat risiko banjir di Jakarta meningkat. Soalnya, selain mendapat kiriman air dari Bogor, hujan juga turun di Jakarta dan akhirnya menambah debit air. "Itulah sebabnya kali ini banjir banyak terjadi di Jakarta Selatan," kata Armi.
Untuk mengurangi efek hot island, Jakarta perlu menekan penggunaan kendaraan pribadi. Soalnya panas dan polusi yang ditimbulkan hasil pembakaran kendaraan menyumbang peran yang penting. "Jadi mengurangi emisi dan macet itu juga mengurangi risiko banjir," kata Amri.
Ternyata, karakter Jakarta sebagi kota metropolitan yang sarat gedung pencakar langit dan memiliki arus lalu lintas yang sibuk ikut menyebabkan perubahan cuaca. Ketua Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung, Armi Susandi, mengatakan hujan di Jakarta tak terjadi secara alami akibat karakter topografi seperti di Bogor.
Menurut dia, hujan di Jakarta disebabkan oleh efek "hot island" yang timbul karena kegiatan pembangunan dan aktivitas warga. "Suhu Jakarta bisa lebih panas 4-5 derajat Celcius dibandingkan laut dan kota di sekitarnya," kata Armi ketika dihubungi, Senin, 14 Januari 2013.
Tingginya suhu itu membuat uap air dari laut bergerak ke langit Jakarta. Di samping itu, aktivitas pabrik dan kendaraan membuat langit sarat polutan. Zat-zat ini nantinya akan menyatu dengan uap air yang berasal dari laut dan membentuk awan. Akibatnya, awan lebih cepat menjadi berat dan "matang."
"Akhirnya awan sudah jatuh sebagai hujan sebelum sampai ke kawasan Bogor," kata dia. Padahal seharusnya awan-awan dari laut itu baru matang ketika sudah sampai Bogor. "Topografi Bogor yang tinggi dan berbatasan dengan gunung membuat awan secara alami terjebak dan akhirnya menjadi hujan di daerah Bogor, Ciawi, dan Puncak."
Efek hot island ini membuat risiko banjir di Jakarta meningkat. Soalnya, selain mendapat kiriman air dari Bogor, hujan juga turun di Jakarta dan akhirnya menambah debit air. "Itulah sebabnya kali ini banjir banyak terjadi di Jakarta Selatan," kata Armi.
Untuk mengurangi efek hot island, Jakarta perlu menekan penggunaan kendaraan pribadi. Soalnya panas dan polusi yang ditimbulkan hasil pembakaran kendaraan menyumbang peran yang penting. "Jadi mengurangi emisi dan macet itu juga mengurangi risiko banjir," kata Amri.
No comments:
Post a Comment