info berita

Wednesday, November 6, 2013

Sepenggal Kisah Pasukan Inong Balee : Nyanyianku Menjadi Deritaku

Sepenggal Kisah Pasukan Inong Balee : Nyanyianku Menjadi Deritaku

Foto : Kenangan Foto Inoeng Balee Masa Silam Di Aceh

.Hari ini, Jumat 01-11-2013, keberaniku sudah sangat bulat untuk menceritakan semua kisah-kisah yang telah ku alami selama ini. Walaupun dengan terbata-bata dan dengan jemari yang gemetar, aku coba juga menulis setiap pertanyaan yang datang dari Team PENA.

ACEH UTARA, akhir tahun 1999. Aku suka menyanyi, dan menyanyi adalah salah satu hobby yang sangat aku sukai. Dan ternyata hobbyku ini telah mengantarkanku kegerbang pertemuan dengan pejuang Aceh Merdeka. Dimana, sebelumnya aku sendiripun tidak mengerti apa yang mereka perjuangkan dan apa yang mereka inginkan.

Seorang Penasehat GAM (Gerakan Acheh Merdeka) Wilayah Pasee mendengar aku menyanyi, dan kemudian dia memberi kesempatakan kepadaku untuk menyanyikan lagu Perang Sabi pada sebuah dakwah GAM yang diadakan di Ulee Meuriya Geudong. Setelah itu aku diajak agar bergabung dengan Pasukan Inong Balee.

Disebabkan, kegiatan sekolah yang aku jalani pun dalam kondisi tak menentu, dan juga keadaan di kampong hura hara, maka dengan memberanikan diri, aku meminta izin dari ayah agar mengizinkanku bergabung dengan Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Dengan renungan yang bangga, dan seperti tak menduga, ayahku menitiskan air mata dan mengatakan setujunya, permintaanku untuk bergabung dengan GAM.

Selama 2 (dua) bulan aku dilatih fisik secara intensif, termasuk menggunakan senjata. Dan, kemudian aku langsung diturunkan lapangan. Sejak saat itu, kehidupanku pun telah berubah, dari gadis gampong menjadi seorang figthter dari Pasukan Inong Balee. Dikarenakan aku seorang gadis luwes dan mudah bergaul, maka Panglima setempat menugaskan aku untuk jadi inteligen. Karena, kalau berperang juga mungkin sudah banyak tentara GAM yang lebih mampu dari aku.

Karena aku ditugaskan di kota, maka bisa leluasa berteman dengan banyak anggota TNI. Mereka sering datang ke rumahku untuk bertamu dan kadang sering aku suguhkan teh atau kopi. Dan, kucoba bertanya tentang pasukan mereka dan kekuatan mereka.

Selama 1 (satu) tahun lamanya aku melaksanakan tugas tersebut dan bisa mengumpulkan kurang lebih 573 butir peluru berbagai jenis. Tapi bak kata pepatah, sepandai pandai tupai melompat, pasti jatuh juga ke tanah. Itulah yang terjadi terhadapku, diakhir tahun 2002, tepatnya saat aku berada di Pos Yonif 141 Sriwijaya Palembang.

Disela-sela keheningan seorang Panglima berkata sesuatu kepadaku. “Adoe Nyoe Keuh Perjuangan, Gob laén Nyaweung- Nyaweung Hana Lee, Droe Keuh Syukur Manteung Udeep”. Tapi dia kan tidak tahu bagaimana dengan masa depanku, dan akupun tidak mau menceritakan panjang lebar, tentang kejadian di dalam sel tahanan itu.

Aku hanya menitiskan air mata dan berdoa kepada Allah SWT agar aku diberikan ketabahan untuk menghadapi semua apa yang telah terjadi terhadap diriku. Seperti yang Panglima katakana “ini adalah risiko perjuangan”, maka akupun tak menyesali apa yang telah terjadi terhadap diriku.

Mereka yang mengajak aku dulu bergabung dengan GAM kini telah menjadi Bupati dan ada yang sudah bekerja di DPRK. Mungkin mereka tidak mengenal diriku lagi, tapi aku masih tetap kenal dengan muka mereka sampai kapanpun. Sedih sekali hatiku melihat kehidupan Rakyat Aceh, yang dulu dijanjikan kebahagiaan kepada mereka.

Merekalah yang telah bersusah payah membekali kita waktu berada di hutan, merekalah yang ”theun tapak” (kenak sepak) disaat konvoi TNI datang menyisir gampong-gampong. Aku sendiri tak membutuhkan bantuan dari mereka yang semenjak dahulu bergabung dengan GAM. Karena aku masih kuat untuk berdikari. Tapi apa yang kuharapkan adalah agar mereka jangan lupa dengan rakyat yang sangat susah mencari sesuap nasi.

Kenapa mereka sudah lupa kepada saudara yang membantu mereka dikala mereka susah dahulu, kenapa mereka bisa menelantarkan anak-anak yatim dan janda yang sangat membutuhkan uluran dan bantuan dari mereka yang dulunya mengatas namakan perjuangan untuk rakyat. Kini setelah dapat pangkat dan jabatan, semuanya hilang arah, mereka seperti telah buta dan tuli dengan alam sekeliling mereka.

Terimakasih juga kepada Team PENA yang telah sudi meringankan beban di dada ini, luapan hati ini telah kalian dengarkan. Harapanku semoga PENA bisa mendengar jeritan bathin dari yang lain juga. Karena jeritan seperti ini lebih sakit kalau tak ada yang mau mendengarnya. Salam sukses untuk PENA dan Teamnya.

Salam
PUTROE MUDA
Pasukan Inong Balèe

No comments:

Post a Comment