-------
Bas Andreas, Pontianak
------
Bas Andreas, Pontianak
------
Senin (4/11), saya berangkat menuju
lokasi lahan yang hendak kami jadikan kebun. Sekitar pukul 15.20, saya
tiba di kediaman Ignasius, adik bapak yang tinggal tak jauh dari lahan
yang hendak kami olah itu.
Lahan kami itu berupa hamparan tanaman perdu yang luas, karena sudah tak ada lagi hutan lebat di sekitarnya.
Rumah Ignasius tertutup rapat jendela
dan pintu rumahnya. Dua unit sepeda motor milik pamanku terpakir di
depan rumah dan hanya ada sekira 20an ekor anjing piaraan saja yang ada
di sekitaran rumah.
"Lagi dimana om," kataku menghubungi pamanku lewat telepon seluler.
"Om lagi di tempat orang meninggal, sebentar saya pulang," kata Ignasius yang kerap dipanggil Nasus atau Pak Obin.
Tak berapa lama, bibi dan pamanku
pulang. Mereka langsung mengisahkan kematian tetangga mereka.
Tetangganya itu seorang tua, yang didapati sudah meninggal dalam kondisi
tertekuk dan mulai dikerubungi semut api/semut merah. Mereka menyatakan
bingung hendak dibawa kemana dan diupacarakan/disembahyangkan sesuai
agama apakah yang dipeluk almarhum.
Kami pun kemudian memasuki rumah,
langsung duduk di lantai papan di dapur sederhana. Sejenak berbincang
masih tentang kematian tetangga mereka, pamanku lalu berkata, "Itulah,
pas mau pulang tadi, saya diajak makan orang," kata Ignasius.
"Makan orang," tanyaku?
"Itu bah, orangutan," kata pamanku
sambil tersenyum. Paman memang tergolong orang yang sering bercanda,
tetapi saya tahu ucapannya tentang orangutan itu pasti benar.
"Hah" Benarlah om? Dapat dimana dia," kataku memastikan.
Pamanku itupun lalu bercerita, bahwa
salah satu tetangganya mendapat orangutan dari seorang pemburu yang
menembaknya. Tetangganya itu dipanggil sang pemburu, karena mengira
binatang buruannya itu seekor rusa. Tapi begitu didekati, ternyata yang
tertembak bukan rusa melainkan seekor orang utan yang sedang sekarat.
Mereka lantas bergegas ke lokasi
orangutan yang tertembak itu. Namun ketika tiba di lokasi, orangutan itu
masih mampu menyeringai. Karena takut, mereka kembali lagi dan
memanggil tetangga lainnya.
Tetangga lainnnya itulah yang kemudian
mendatangi orangutan itu. Kata pamanku, sebelum membawa orangutan itu,
tetangganya berkata di depan binatang yang sudah sekarat itu,"Kalau kau
masih sehat, mungkin aku bawa kamu ke rumah. Tapi karena sudah begini,
daripada mati sia-sia, mau gimana lagi," kata Ignasius menyitir
perkataan tetangganya itu.
Setelah mengakhiri penderitaan orangutan
itu, kemudian dibawa pulang ke rumah. Seperti layaknya binatang buruan
umumnya, orangutan itupun lantas diperlakukan sama seperti hewan yang
kemudian dipersiapkan menjadi lauk pauk.
"Di rumahnya itu ada kepalanya tu. Besar," kata pamanku.
"Bolehkah om kalau saya lihat kepalanya sama daging yang mereka masak," kataku.
"Ya, ya. Saya ke sana ambil," katanya.
Setelah pamanku pergi ke tempat
tetangganya itu, saya pun berpikir seperti apakah bentuk kepala
orangutan dan dagingnya itu. Tak berapa lama, pamanku datang menjinjing
karung plastik putih. Jantung sempat berdegup melihat karung plastik
itu.
Pamanku pun mengeluarkan isi karung
plastik putih itu yang ternyata sebuah panci berukuran sedang. Aku
sempat berpikir, di dalam panci itulah dagingnya. Lantas, mengapa karung
plastik itu tak nampak bentuk ketika panci dikeluarkan. Setidaknya,
jika di dalam karung plastik itu ada kepala orangutan, tentu bentuk
plastik yang diletakkan di lantai itu pasti menyerupai gundukan kecil.
Ignasius pun lantas membuka panci yang
dikeluarkannya dari karung plastik tadi. Ternyata isinya adalah
tengkorak orang utan yang sudah direbus. Besarnya kurang lebih sebesar
kepala saya. Masih ada beberapa kerat daging yang melekat di tengkorak
orangutan itu. Di dalam panci itu, ada juga beberapa kerat daging orang
utan. Kemungkinan, jika melihat kulit dagingnya, itu adalah daging
bagian pelipis kiri kanan orangutan.
Warnanya agak menghitam. Malam itu, saya
pun pulang dari kediaman paman sambil teringat liutnya rasa daging
orangutan yang dimasak bumbu rica-rica. (*)
No comments:
Post a Comment